Oleh: Achmad Mochtarom,
Menurut Indef pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan IV 2020 minus 2,19 persen, yang akan berlanjut di triwulan I 2021 menjadi minus 1 persen (yoy) jika kasus harian Covid-19 masih tinggi. Ekonomi nasional akan memburuk jika pandemic ini tidak teratasi dengan baik. Bahkan Prof Zubairi Djoerban Ketua Satgas Covid 19 IDI prediksikan pandemic ini bisa berlangsung hingga 10 tahun kedepan, sebaliknya FKM UI mengklaim selesai September 2021. Mana yang benar, yang pasti akibat covid-19 menekan tingkat produksi, menambah pemutusan hubungan kerja, kerugian, kebangkrutan, penurunan daya beli, dan mengerem pengeluaran rumah tangga hingga menimbulkan kemiskinan baru.
Pandemic covid19 mendorong semua pihak melakukan dengan cara-cara baru, sehingga
konsumsi di sektor kesehatan, informasi dan komunikasi meningkat signifikan. Sedangkan sektor jasa keuangan yang mengandalkan kepercayaan dan kemampuan financial masyarakat belum
bisa optimis. Apalagi sepanjang tahun sektor jasa keuangan bank dan non bank terus menerus membuat kegaduhan akibat fraud orang dalam dan salah kelola dana pihak ketiga. Akibatnya beberapa perusahaan gagal bayar, dana masyarakat hilang hingga menimbulkan trauma dan turunnya kepercayaan.
Pandemic dan ketidakmampuan financial masyarakat merupakan faktor uncontrol yang berdampak pada semua sektor. Berbeda dengan jasa keuangan, selain pandemic dan customer financial harus bisa mengungkit faktor kepercayaan masyarakat. Mengingat beberapa kasus pailit dan gagal bayar yang kemudian di”opname” OJK, diakuisisi atau merger ternyata kini masih menyisakan nasabah bermasalah.
Kasus fraud bukan kabar baru, seperti pembobolan Citibank, Bank Mega, Bank Bali, dan Bank Century. Yang baru-baru mengejutkan publik adalah kasus salah transfer di bank besar sekelas BCA dan Citibank, mungkin tak seorangpun percaya kalau pengalihan dana pihak ketiga tersebut salah tujuan atau nilai karena diyakini bank besar kelas global punya sistem pengendalian yang super ketat.
Demikian juga terjadi di sektor asuransi kegagalan pengelolaan dana pihak ketiga, sederetan kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, Jiwasraya, PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (WanaArtha Life), dan PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life), Bakrie Life, dan Asuransi Bumi Asih, dan masih banyak lagi lainnya seperti investasi bodong yang merugikan masyarakat. Jika hal ini tidak tertangani dengan baik, maka pelaku jasa keuangan nasional akan tergeser dengan pelaku asing atau joint venture dalam berebut pasar nasional. Mengapa di sektor jasa keuangan masih terus terjadi kekeliruan, fraud dan gagal bayar? Bukankah sektor ini lebih ketat regulasinya dibandingkan jasa lainnya?
Secara umum pelaku usaha termasuk jasa keuangan harus berbentuk perseroan terbatas atau PT, yang didirikan minimal dua orang atau badan dengan harapan terjadi keseimbangan dalam pengelolaan maupun pengendalian usaha bersama tersebut. Dalam menjalankan usaha tertentu PT juga diikat dengan banyak ketentuan seperti minimal modal usaha dan kelembagaan serta kepengurusannya. Ketatnya ketentuan dalam upaya pengendalian pelaku usaha inipun masih sering disiasati, sehingga muncullah kebijakan uji kelayakan bagi pemegang saham dan pengurus.
Bahkan untuk meningkatkan kepercayaan publik, pelaku usaha seperti jasa keuangan atau perusahaan go public wajib memiliki komisaris independen yang tidak mewakili atau terafiliasi dengan pemegang saham tapi sepenuhnya menjalankan tugas demi kepentingan perusahaan.
Namun delimatis bagi pemegang saham, apakah akan ambil langkah agar pengurus kompak atau justru menerapkan menejemen konflik sehingga pungurus bisa saling mengingatkan dan patuh menjalankan ketentuan dan prosedur bisnis.
Kelemahan kekompakan pengurus pernah terjadi tahun 2017 lalu antara lain penerimaan gratifikasi berjamaah Direktur Utama PAL Indonesia Muhammad Firmansyah Arifin, Direktur Keuangan PAL Saiful Anwar dan Kepala Divisi Perbendaharaan Arief Cahyana. Belum lama ini, muncul risiko kepatuhan pengelolaan dana pihak ketiga di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang melibatkan Direktur Utama Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Hary Prasetyo, Kepala
Divisi Investasi dan Keuangan AJS Syahmirwan, dengan pihak swasta Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro. Terakhir ketidakpatuhan pengurus mencuat juga di penyimpangan pengelolaan dana Asabri yang melibatkan lebih delapan
tersangka termasuk dua Direktur Utama Adam Damiri dan Sonny Widjaya.
Sesungguhnya di sektor jasa keuangan dan BUMN banyak sistem pengendalian yang telah diterapkan seperti tata kelola perusahaan, manajemen risiko, kepatuhan, anti fraud, anti penyuapan dan korupsi, serta sertifikasi ISO. Semua perangkat tersebut juga dilengkapi komite- komite yang membidangi dibawah Direksi maupun Komisaris. Jika dijalankan dengan optimal semestinya risiko kepatuhan sulit terjadi. Lalu, mengapa kelengkapan dan pengurus yang kompak itu menjadi tidak patuh?
Tak bisa dipungkiri, ujung performance pengurus tidak lepas dari laba usaha dan pertumbuhan asset karena hal itu jadi dasar penentuan remunerasi dan reward pengurus. Oleh karenanya performance tersebut harus dicapai bersama-sama antara BoD dan BoC serta eksekutifnya dengan cara yang baik dan benar. Namun yang sering terjadi ketika lingkungan ekonomi dan bisnis berubah tidak menguntungkan, pengurus sering menjadi kompak menyiasati dengan cara melakukan rekayasa keuangan. Dengan dalih mencari terobosan atau inovasi, penyimpangan yang belum diatur dalam kebijakan dan prosedur itu. Celakanya terobosan tersebut meleset bukan untung tapi rugi, sehingga risiko kepatuhan pengurus menjadi sempurna. Berharap mendapatkan reward, malah masuk penjara.
Sebaliknya pada saat ekonomi menguntungkan sehingga kinerja jauh melampaui target, tidak sedikit yang memanfaatkan momentum ini untuk mengambil kelebihan target itu sebagai keuntungan pribadi. Dengan harapan, pengurus akan mendapat bonus karena target tercapai sekaligus kelebihan target yang tidak disetorkan ke perusahan. Hal-hal ini hanya bisa terjadi jika pengurus yang menjalankan fungsi pengawasan, tata kelola, manajemen risiko dan kepatuhan tidak tangguh menjalankan amanat.
Dengan demikian baik buruk ekonomi bisa memicu ketidakpatuhan pengurus, oleh karenanya risiko kepatuhan menjadi top risk di korporat. Seketat apapun kebijakan, prosedur dan secanggih apapun tehnologi, sumber kehancuran atau majunya perusahaan adalah kepatuhan pengurusnya. Kepatuhan dipengaruhi oleh gaya hidup dan akhlak pengurus itu sendiri. Pada tahun 2014 himbauan gaya hidup sederhana dalam rangka pemberantasan korupsi pernah disampaikan periode pertama Presiden Joko Widodo. Yang kemudian sebagai respon catatan 159 BUMN
yang tersangkut kasus korupsi dengan 53 orang tersangka, Menteri BUMN Erick Thohir juga membangun standard perilaku insan BUMN yang diberi nama AKHLAK.
AKHLAK merupakan singkatan Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif. Nilai-nilai perilaku tersebut menjadi pedoman dalam berbudaya kerja di semua BUMN supaya jauh dari korupsi. Agar standard perilaku ini tidak jadi sekedar slogan, tapi dapat berjalan
optimal perlu metode pengukuran dan seorang Direksi yang bertanggungjawab penerapannya,
setidaknya yang membidangi kepatuhan, human capital, dan hukum. Buktikan, BUMN dan swasta bisa maju tanpa kolusi dan korupsi.
*) Asesor pada Lembaga Sertifikasi Profesi Manajemen Risiko (LSPMR) di Jakarta